Minggu, 01 Juni 2014

Menyoroti Track Record Bukan Suatu Tindakan Solutif

Bismillahirrahmanirrahim.

Berpolitik tidak harus dan perlu ikut serta berlaga dalam medan,
namun berpolitik itu adalah menciptkan suatu perhelatan yang lebih baik.
Djie El-Quro 

Akhir-akhir ini, gencar sekali dibicarakan pemilihan presiden. Entah itu di media, hingga pada beberapa tempat perkumpulan lainnya di berbagai daerah. Tak lepas pula, yang kerap kali disebutkan adalah track record atau rekam jejak dari masing-masing kandidat yang telah nyata mendaftar dan tercatat di KPU sebagai calon presiden dan wakil presiden.

Dalam benak saya ada satu hal yang ingin saya tanyakan, setelah melihat kenyataan politik yang ada, yakni ketika semua orang menyoroti track record menjadi hal penting dalam menentukan pilihan. Benarkah track record itu menjadi prioritas dalam menentukan suatu pilihan?

Setelah mengalami pergulatan yang panjang, saya dan hati nurani saya bersepemahaman bahwa hal itu tidak begitu adanya. Alasannya sederhana, karena track record  itu membicarakan masa lalu, dan dalam praktik yang terjadi kali ini hanya track record orang lain yang dibicarakan, bukan diri sendiri. Sungguh sangat tidak beretika dimata saya yang masih berpemahaman sebagai pribadi Ibtidaiyah (Jenjang pendidikan setara SD).

Yah, di Madrasah Ibtidaiyah kita diajari untuk tidak membicarakan (track record ) orang lain, yang baik saja itu  tidak boleh bila sekiranya menjadikan yang bersangkutan tidak berkenan, apalagi yang buruk.

Alasan berikutnya, penyorotan track record itu bisa saja dikategorikan dengan pengingkaran atas kebijakan Tuhan, dalam hal ini saya katakan lebih spesifik bagi yang berkeyakinan sepeti saya, Islam. Sebab dalam islam itu, Allah yang menjadi Tuhan kami telah memberikan kebijakan agung untuk para hambanya yang telah tertaqdir sebagai pendosa dengan alternatif taubat. Nah, lalu kenapa kita masih harus memvonis seseorang dengan perspektif track record nya?

Kalau boleh saya bercerita, beberapa waktu yang lalu. Saya diperkenankan untuk mengenal seseorang, yang kini saya jadikan dia sebagai belahan rasa dari apa yang saya alami selama ini. Saya percaya dia, karena saya merasakan ada kejujuran pada dirinya. Dan, satu hal yang mungkin perlu diberi catatan bahwa saya tidak pernah mempersoalkan track record nya. Saya memilihnya dengan ketulusan apa adanya, dan saya bersyukur karena dia jujur dengan (track record ) segalanya. Dan saya tidak pernah mempersoalkan segalanya. Sebab itu masa lalu, dan saya memilihnya untuk saya miliki saat ini hingga di masa depan dengan status dipinjami Tuhan sebagai seorang yang cukup berarti bagi saya, hari ini hingga selamanya di akhirat kelak. Semoga, dalam hal ini saya menjadi pengikhtiar yang baik dalam menjalani segala proses bersamanya, Aamiin!

Yah, demikianlah saya memilih seseorang yang hendak akan saya percaya sepenuhnya lahir batin dalam menjalani segala kemungkinan yang terjadi. Dan saya berpikir, untuk memilih presiden itu tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami saya selama ini.

Saya pikir, bila saja mayoritas rakyat indonesia tidak terlalu mempersoalkan track record dari calon yang ada, akan muncullah dalam hati nurani mereka ketulusan untuk memilih dengan tanpa mengotori ikhtiarnya untuk memiliki pemimpin yang diimpikan. Sebab begini logikanya, Allah itu tidak akan memberikan pasangan dari suatu hal kecuali ia sama kondisinya dengan hal tersebut.

Dalam konteks ini, katakanlah bahwa pemerintah itu pasangannya adalah rakyat. Sangat mustahil rasanya ketika rakyat yang ikhtiarnya menggunakan metode yang tidak karuan lantas mengimpikan pemimpin yang baik. Lagi pula baik itu relatif, apalagi bila dihadapkan dengan kurang lebih 230 juta rakyat indonesia yang tingkat kecerdasannya berbeda, tentu akan didapatkan pemahaman dari kata baik tersebut yang sangat variatif dan cukup kompleks.

Satu hal penting yang perlu saya catatkan disini, bahwa kita insan atau yang lebih lumrah disebut manusia, tidak akan pernah mampu merekam setiap jejak dari seseorang. Sebab yang namanya insan itu pasti pelupa karena memang itu maknanya, selain itu manusia itu memang tempatnya khilaf. Oleh karenanya, sangat mustahil bila kita yang berpotensi cacat menghendaki kesempurnaan dengan sok mengatakan dengan lantang tanpa beban tentang track record  dari seseorang. Padahal diri kita yang kesana kemari gembar-gembor membincangkan track record  seseorang itu belum tentu juga memiliki catatan hidup yang sempurna.

Sebagai langkah bijaksana, mungkin kita lebih tepatnya banyak koreksi diri hingga kita menjadi pribadi yang lebih baik. Dengan demikian, bukan tidak mustahil ketika kita selaku rakyat sudah beriktikad menjadi pribadi yang baik akan mendapatkan pemimpin yang baik pula, sekalipun ternyata yang menjabat nanti bukan orang yang kita dukung dan kita pilih nanti pada hari pencoblosan tiba. Sebab substansi dari ajang ini sesungguhnya, kita sebagai rakyat bukan menginginkan si A atau si B, tapi justru yang diinginkan kita adalah yang baik, jujur, berkompeten dan mau mengerti dengan kondisi kita. Jadi siapapun itu, baik si A atau si B asalkan memiliki kriteria yang dimaksud, bolehlah menjabat sebagai presiden di tanah air kita tercinta ini.

Akhirnya, saya mohon ampun kepada Allah bila ternyata apa yang saya sampaikan ini adalah kekhilafan dan ternyata merugikan pihak lain. Namun bila berdampak baik, saya pasrahkan segalanya hanya untuk Allah SWT semata. Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar